SELAMAT DATANG DI website SEKSI URUSAN AGAMA ISLAM KEMENTERIAN AGAMA LOMBOK BARAT, ... SELAMAT MENIKMATI…………

Minggu, 13 September 2009

Risalah Jum'at

POKOK-POKOK RISALAH JUM’AT DALAM PERBINCANGAN SYAFI’IYYAH DAN MAZHAB LAINNYA
Oleh : M. Abu Arif Aini


1. Pengertian dan Tujuan Jum’at
a. Shalat Jum’at merupakan pengganti shalat Dzuhur yang dikerjakan pada waktu Dzuhur dan hukumnya fardhu ‘ain bagi tiap Laki-laki yang merdeka, baligh, berakal, sehat jasmani dan rohani, bertempat tinggal secara menetap di mana shalat jumat tersebut didirikan (musthauthin). Shalat Jum’at wajib dikerjakan secara berjamaah yang di dahului oleh dua khutbah sebelum shalat dan ada izin pemerintah. Menurut Mazhab Syafi’i, shalat jum’at tidak wajib hukumnya bagi wanita, anak kecil, orang gila, sakit keras, pingsan atau koma, budak atau sahaya, kafir, murtad, orang yang sedang musafir, orang yang sedang tinggal diperkemahan atau pemondokan yang tidak ada majelis jum’at ditempat itu dan mereka tidak mendengar suara azan jum’at ---jika mereka mendengar azan jum’at maka wajib mendatangi tempat jum’at yang terdengar suara azannya tersebut, musthauthin yang jumlahnya kurang dari empat puluh orang dan mereka tidak mendengar suara azan jum’at dari tempat lain ---tetapi jika mereka mendengar suara azan maka wajib mereka mendatangi tempat jum’at dimana suara azan tersebut dikumandangkan.  


Demikian juga tidak wajib jum’at bagi mukimin yang tidak mendengar suara azan jum’at sekalipun jumlah mereka lebih dari empat puluh orang. Mukimin adalah orang yang tadinya musafir, kemudian tinggal di suatu tempat melebihi empat hari dan atau sampai batas waktu yang tidak ditentukan, namun dalam hati mereka tetap berniat atau berkeinginan suatu saat akan kembali ketempat asal mereka. Mengenai orang yang buta, wajib jum’at apabila jarak masjid dengan rumahnya tidak jauh dan ada orang yang menuntunnya ke masjid ---meskipun dengan cara mengupah atau menyewa orang, dan di masjid tersebut ada tempat duduk yang ia dapat bersandar, apa bila tidak ada yang menuntun dan dimungkinkan akan lebih banyak mudharat maka tidak wajib jum’at. 

Adapun prihal izin pemerintah, Hanafi mensyaratkan wajib ada izin pemerintah, jika tidak ada izin maka tidak sah mendirikan jum’at, sedangkan tiga imam yang lain (Maliki, Syafi’i dan Hambali) soal adanya izin pemerintah statusnya sunnat, bila tidak mendapatkan izin pemerintah, pada prinsipnya hukum jum’atnya sah. Karena itu Hanafi membolehkan berbilang-bilang jum’at di satu tempat asal ada izin pemerintah, juga ---menurut Hanafi--- orang musafir boleh mendirikan jum’at bila mendapat izin pemerintah, meskipun orang musafir itu berada di wilayah yang ada jum’atnya. Demikian pula Ahlul Jum’at (baik musthauthin atau mukimin) yang keluar dari rumahnya atau keluar dari wilayah dimana ada jum’atnya ke tempat baru yang tidak ada jum’atnya, maka sah mendirikan jum’at menurut Hanafi ---lebih-lebih ada izin pemerintah.  

b. Maksud dan tujuan disyariatkannya shalat Jum’at sebagaimana namanya yaitu untuk mengumpulkan atau menghimpun manusia di satu tempat guna beribadah kepada Allah SWT secara khusyu’, memperkokoh ikatan hati diantara mereka, memperkuat hubungan silaturrahim, agar tumbuh dalam diri mereka rasa cinta dan kasih sayang, akan mematikan rasa benci dan dendam kesumat, masing-masing diantara mereka akan memandang yang lainnya dengan tatapan penuh kasih sayang, yang kuat akan menolong yang lemah, yang kaya membantu membahagiakan yang miskin, yang besar akan menyayangi yang kecil, yang kecil menghormati yang besar, mereka akhirnya akan merasa menyatu dalam ibadah kepada Allah SWT.

Berangkat dari maksud dan tujuan inilah, para imam mujtahid dan ulama masing-masing mazhab berbeda pendapat tentang shalat jum’at yang lebih dari satu atau berbilang-bilang di satu tempat. Sebagian berpandangan bahwa berbilang-bilang Jum’at di satu tempat tidak sah karena berlawanan dengan maksud disyariatkannya shalat jum’at seperti keterangan di atas dan juga akan menyebabkan perpecahan umat. Sebagian lagi berpendapat boleh, karena alasan hajat. 


2. Masalah Waktu dan Tempat Mendirikan Jum’at
a. Waktu Jum’at
Waktu jum’at sama dengan waktu zohor, yaitu setelah zawal (tergelincir) matahari dan tidak sah pada waktu istiwa’ (saat matahari pas berada di tengah-tengah, dimana bila orang berjemur dibawahnya maka tidak tampak bayangan orang tersebut), kecuali Imam Hambali membolehkan memulai jum’at pada waktu istiwa’.

b. Tempat Jum’at
Jum’at lebih afdhol dilaksanakan di masjid, bahkan sebagian pendapat di Mazhab Maliki wajib mendirikan jum’at di masjid. Masih menurut ulama’ Mazhab Maliki, ada yang membolehkan jum’at meskipun tidak di masjid asalkan di tempat yang bangunanya permanen semacam gedung atau tempat belajar, tidak sah di rumah (yang dipakai sebagai tempat tinggal), juga tidak sah di tempat yang lapang (yang tidak ada bangunanya), juga tidak sah di padang pasir. Sementara menurut Syafi’i, boleh jum’at di suatu bangunan yang tidak permanen, seperti bangunan yang terbuat dari bambu, kayu, alang-alang dan sebagainya, juga boleh di tempat yang lapang/terbuka ---karena tempat yang semula dipakai jum’at (masjid) sedang dipugar--- asalakan tempat yang lapang tersebut diberi pagar yang memperjelas batas-batasnya, walaupun dari kayu, bambu atau tali. Sedangkan menurut Hanafi dan Hambali, boleh mendirikan jum’at di luar masjid atau di tempat terbuka yang lapang asalkan jaraknya dekat dari tempat yang semula dipakai jum’at (jarak yang dimaksud menyebabkan orang tidak boleh meng-qashar atau men-jama’ shalat).  


3. Hukum dan Syarat Sah Shalat Jum’at

Hukum shalat Jum’at adalah wajib. Syarat-syaratnya sebagai berikut :
a. Mazhab Hanafi, membagi syarat shalat Jumat menjadi dua yaitu syarat-syarat wajib dan syarat-syarat sah. Adapun syarat wajib ada enam : (1) Laki-laki (2) Merdeka (3) Sehat jasmani dan rohani (4) Bertempat tinggal di mana shalat Jumat tersebut didirikan (5) Berakal (6) Baligh. Adapun syarat sahnya ada empat yaitu : (1) Ada izin dari pemerintah ; (2) Masuk waktu ; (3) Khutbah sebelum shalat ; (4) Berjamaah.
b. Mazhab Maliki, sama seperti Hanafi Mazhab Maliki juga membagi syarat jumat menjadi dua : syarat-syarat wajib dan syarat-syarat sahnya. Syarat-syarat wajibnya sama seperti yang disyaratkan Hanafi, dengan beberapa tambahan (1) Tidak adanya uzur (2) Sehat penglihatan (tidak buta) (3) Tidak tua renta yang menyulitkan untuk hadir (4) Tidak dalam kondisi sangat panas atau sangat dingin (5) Dalam kondisi aman. Adapun syarat sahnya ada lima : (1) Mustauthin ; (2) Jumlah jamaahnya sekurang-kurangnya 12 orang selain imam ; (3) Imamnya langsung sebagai khatib ; (4) Dua khutbah ; (5) Dilaksanakan di tempat tertutup/berbentuk sebuah bangunan permanen ; 
c. Mazhab Syafi’i, sama seperti Hanafi dan Maliki, Syafi’i juga membagi syarat jumat menjadi dua : syarat-syarat wajib dan syarat-syarat sahnya. Adapun syarat wajib seperti tersebut di atas dengan beberapa tambahan sebagai berikut : (1) Bertempat tinggal di tempat Jumat dilaksanakan atau di satu tempat yang dekat dengan pelaksanaan Jumat dengan catatan mendengar suara azan dari Jumat dimaksud ; (2) Mustauthin (orang yang tinggal menetap dan berniat akan sehidup semati di tempat itu). Adapun syarat sahnya : (1) Dilaksanakan secara berjamaah ; (2) Tidak boleh kurang dari 40 orang ; (3) Didahulukan oleh dua khutbah.
d. Mazhab Hambali, sama seperti Hanafi, Maliki dan Syafi’i, Hambali juga membagi syarat Jum’at menjadi dua : syarat-syarat wajib dan syarat-syarat sahnya. Syarat-syarat wajib dan syarat-syarat sahnya sama dengan mazhab Syafi’i.


4. Hukum Berbilang-Bilang Jum’at di Satu Tempat

a. Mazhab Syafi’iyyah berpendapat : 
• Apabila di satu tempat ada dua atau lebih majelis Jum’at dan tidak karena alasan hajjah yang dibenarkan syara’ --seperti karena masjid tempat jum’at yang semula tidak memadai/tidak menampung jama’ah, atau lainnya ---maka yang sah jum’atnya adalah yang lebih dahulu; azannya atau takbiratul ihramnya atau shalatnya.
• Point yang pertama diatas, bila mana diketahui secara pasti dan didasarkan keyakinan yang kuat mengenai ada yang lebih dahulu jum’atnya dari yang lainnya, akan tetapi bila tidak tahu, atau ragu atau mengetahui secara pasti bahwa pelaksanaan jum’atnnya bersamaan, maka Jum’at keduanya atau lebih di satu tempat tersebut (yang bersamaan tadi) tidak sah, wajib di ulang jum’atnya secara bersama di satu masjid bila cukup waktu, tetapi apabila tidak cukup waktu maka wajib shalat zohor secara berjamaah. 
• Apabila berbilang-bilang jum’at di satu tempat karena ada hajjah yang dibenarkan syara’ maka semua jum’at tersebut secara hukum sah, akan tetapi disunnatkan shalat zohor secara berjamaah setelah pelaksanaan shalat jum’at tadi.

b. Mazhab Malikiyah berpendapat : 
• Apabila di satu tempat ada dua atau lebih majelis jum’at, maka juma’at yang sah adalah jum’at yang paling dahulu didirikan di tempat tersebut, meskipun jum’at yang baru dilaksanakan di masjid yang paling tua umurnya. 
• Jum’at kedua atau ketiga di satu tempat tadi akan menjadi sah apa bila memenuhi empat syarat sebagai berikut; (1) Telah mendapat persetujuan dari hakim (pemerintah); (2) Mukimin atau mustauthin pada jum’at pertama lebih suka dan pindah melaksanakan sholat pada jum’at lainnya meskipun dengan tampa alasan uzur; (3) Masjid atau tempat jum’at yang pertama tidak menampung lagi; dan (4) Masyarakat takut melaksanakan jum’at di tempat pertama karena ada fitnah atau karena tidak aman. 

c. Mazhab Hambaliyah berpandangan :
• Pada prinsipnya, berbilang-bilang jum’at di satu tempat hukumnya sah karena dua alasan pokok, yaitu, pertama ada persetujuan/izin pemerintah dan kedua karena alasan hajjat, sekalipun tidak mendapatkan izin pemerintah.
• Apabila tidak karena alasan hajjat, hukumnya sah apabila ada izin pemerintah, dan sebaliknya tidak ada izin pemerintah dan tidak karena hajjat serta diketahun secara pasti jum’at yang mana lebih dahulu takbiratul ihram, maka jum’at yang lebih dahulu itulah yang sah. Tetapi apabila diketahui bersamaan atau tidak diketahui secara pasti mana yang lebih dahulu, maka jum’at semuanya tidak sah, maka wajib di ulang jum’atnya secara bersama-sama, tetapi apabila tidak cukup waktu maka wajib shalat zohor secara berjamaah.

d. Mazhab Hanafiyah berandangan bahwa pada prinsipnya berbilang-bilang jum’at di satu tempat itu tidak mengapa, asalkan telah memenuhi syarat dan rukun jum’at, kendatipun ada salah satunya yang lebih dahulu pelaksanaannya.

5. Masalah Persyaratan Jumlah Minimal Jama’ah Shalat Jum’at

Ittifaq para aimmatul arba’ah (imam mazhab yang empat) bahwa shalat jum’at wajib dilaksanakan dengan berjamaah, kendatipun mereka berselisih dalam menentukan syarat minimal jumlah person dalam jmaa’ah dimaksud, sebagai berikut :
a. Mazhab Maliki berpendapat bahwa sekurang-kurang jumlah person dalam jama’ah shalat jum’at adalah 12 (dua belas) orang selain imam dengan syarat-syarat; (1) Semua jama’ah tersebut adalah person yang terkena hukum wajib (mukallif) jum’at oleh syara’; (2) Musthauthin ; (3) Semua jamaah dimaksud hadir sejak awal khutbah pertama sampai selesai shalat (kalau batal salah satu dari mereka sebelum imam salam pertama maka batallah jum’at dimaksud); (4) Dipersyaratkan bahwa semua jamaah tersebut menganut mazhab Maliki atau Hanafi.

b. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa sekurang-kurang jumlah jamaah shalat Jumat adalah tiga orang selain imam, dengan syarat-syarat sebagai berikut : (1) Semuanya laki-laki baik dia berstatus hamba, sakit, musafir, dia orang bodoh atau tuli asalkan dia shalat bersama imam minimal sejak takbiratul ihram sampai salam; (2) Tidak disyaratkan khatibnya jadi imam shalat Jumat. (3) Tidak disyaratkan keberadaannya sejak awal khutbah (4) Disyaratkan bahwa imam shalat Jumat tersebut adalah pemerintah atau petugas yang ditunjuk oleh pemerintah.

c. Mazhab Syafi’i, memberi beberapa syarat pada jamaah shalat jum’at sebagai berikut; (1) Jumlahnya minimal 40 orang sekalipun termasuk imam (sekiranya bila terjadi kurang dari atau tidak bisa mencapai 40 orang, shalat jum’at tetap harus dilaksanakan dengan cara taklid kepada imam yang membolehkan kurang dari 40 orang (dengan catatan tidak boleh talfiq). Taklid adalah mengikuti ajaran suatu mazhab dalam hal ibadah, (misalnya shalat jum’at mulai dari tata cara berwudhu' sampai dengan teknik shalatnya), sementara talfiq adalah mencampur adukkan tata cara ibadah dua atau beberapa mazhab, sebagai contoh, berwudhu’ menggunakan Syafi’i sedangkan shalatnya mencampukan antara cara shalat Syafi’i dengan praktek shalat menurut Maliki atau Hanafi; (2) Person dari jamaah shalat Jumat tersebut semuanya telah wajib Jumat (merdeka, laki-laki, mukallif, mustauthin di satu tempat); (3) Mereka bersama dengan imam sekurang-kurangnya sebelum berakhir rakaat pertama; (4) Disyaratkan juga jumlah jamaahnya tidak kurang dari 40 orang sampai berakhir shalat, jika jumlahnya pas 40 orang dan salah satu dari mereka batal, maka batallah Jumat seluruhnya dan wajib diulang jum’atnya apabila cukup waktu, jika tidak cukup waktu maka diwajibkan shalat Dzuhur, sunnat secara berjamaah. Yang dimaksud dengan cukup waktu adalah dimungkinkan dapat melaksanakan dua khutbah dan shalatnya, meskipun hanya rukun-rukunnya saja; (5) Disyaratkan juga para makmum dapat takbiratul ihram sebelum imam bangkit dari ruku’ rakaat pertama, tetapi apabila imam bangkit dari ruku’ dan semua makmum belum melakukan takbiratul ihram maka tidak sah jum’atnya; (6) Disyaratkan juga agar para makmum berniat makmuman lil imam jika tidak maka tidak sah Jumatnya.

d. Mazhab Hambali memberi syarat pada jamaah Jumat sebagai berikut : (1) Tidak boleh kurang dari 40 orang sekalipun bersama imam ; (2) Jamaah Jumat dimaksud adalah orang-orang yang dihukumi syara’ wajib Jumat (laki-laki, merdeka, balig, musthautin, bukan termasuk muqimin) ; (3) Disyaratkan untuk hadir (minimal 40 orang) sejak khutbah ; 

 Beberapa pendapat ulama’ mengenai persyaratan minimal jumlah jamaah jum’at : 
• Imam An-Nakho’i dan Ahlul Zohir berpendapat bahwa jum’at sama seperti shalat berjamaah lainnya, yaitu minimal dua orang (satu makmum dan seorang imam)
• Abu Yusuf, Muhammad dan Al-Laits berpendapat, bahwa sekurang-kurang jamaah jum’at adalah tiga orang (seorang imam dan dua makmum)
• Imam Hanafi dan Supyan Ats-Tsaury, mensyaratkan minimal 4 (empat) orang.
• Menurut Akromah minimal 7 (tujuh) orang.
• Minimal 9 (sembilan) orang menurut Robi’ah
• Imam Malik mensyaratkan minimal 12 (dua belas) orang
• Ishak mensyaratkan minimal 13 orang
• Minimal 20 orang menurut Ibnu Habib dari salah satu riwayat Maliki
• Imam Syafi’i dan Hambali mensyaratkan minimal 40 (empat puluh) orang termasuk imamnya
• Menurut Umar bin Abdul Aziz adalah 41 orang dengan imamnya (40 orang makmum)
 

6. Masalah Seputar Khutbah

a. Syarat-syarat khutbah
 Menurut Imam Hanafi memberikan beberapa syarat khutbah, yaitu : (1) Khutbah disampaikan dengan jelas dan terang agar didengar seluruh jamaah; (2) Khutbah boleh tidak memakai Bahasa Arab, sekalipun dari makmumnya ada orang Arab; (3) Tidak boleh ada pasal atau jarak yang terlalu lama antara dua khutbah; (4) Lama duduk antara dua khutbah tidak melebihi waktu membaca tiga ayat; (5) Disunnatkan khotib membaca khutbah dalam keadaan berdiri, selain berdiri makrukh; (5) Sunnat khotib memegang tongkat dengan tangan kiri; (6) Sunnat khotib duduk diatas mimbar/podiom sebelum memulai khutbah pertama.

 Imam Maliki memberikan syarat-syarat khutbah, sebagai berikut ; (1) Khutbah wajib disampaikan dengan bahasa Arab, sekalipun jamaahnya orang ajamiyah (bukan Orang Arab); (2) Disampaikan dengan suara keras dan jelas; (3) Wajib membaca shalawat kepada Nabi Saw antara dua khutbah; (4) Sunnat khotib berdiri dan menyampaikan khutbah diatas mimbar/podiom; (5) Mengulang sebagian / pokok-pokok isi khutbah pertama pada khutbah kedua; (6) Sunnat memulai dan mengakhiri khutbah dengan salam; (7) Sunnat khotib memegang tongkat ketika berkhutbah.

 Imam Syafi’i mensyaratkan khutbah jum’at; (1) Sunnat rukun khutbah disampaikan dengan bahsa Arab, lebih afdhol khutbah dengan bahasa Arab; (2) Disampaikan dengan suara terang dan jelas; (3) Duduk antara dua khutbah dan tidak boleh terlalu lama jarak waktu antara keduanya (maksimal ukuran waktu shalat dua rakaat); (4) Sunnat khotib berdiri dan menyampaikan khutbah diatas mimbar/podiom, atau di tempat yang agak tinggi bila tidak ada podiom ---apabila khotib sengaja tidak berdiri padahal ia mampu berdiri maka batal khutbahnya; (5) Sunnat memulai khutbah dengan salam sebelum duduk menjelang khutbah pertama; (6) Sunnat khotib memegang tongkat ketika berkhutbah; (7) Sunnat azan sebelum khutbah pertama; (8) Khutbah harus didengar secara langsung oleh sekurang-kurangnnya 40 jamaah; (9) Sunnat khotib memengang tongkat; (10) Mimbar podiom harus berada di sebelah kanan imam.

 Imam Hambali berpendapat, bahwa syarat khutbah antara lain; (1) Tidak sah khotbah disampaikan dengan selain bahasa Arab apabila mampu, lebih-lebih ayat Al-Qur’an, jika tidak bisa membaca ayat al-Qur’an dengan Bahasa Arab, maka hendaklah si khotib diam seukuran lamanya membaca ayat tersebut; (2) Disampaikan dengan suara jelas dan terang agar didengar oleh sekurang-kurangnya 40 orang, jika tidak bisa didengar oleh 40 orang maka tidak sah khutbahnya; (3) Disampaikan diatas mimbar dengan cara berdiri; (4) Sunnat memulai dan mengakhiri dengan salam; (5) Sunnat duduk setelah memberi salam dan mendengarkan azan sebelum memulai khutbah pertama; (6) Sunnat duduk antara dua khutbah sekira-kira lamanya membaca surat Al-Ikhlas; (7) Sunnat memegang tongkat; (8) Sunnat khutbah singkat dan ringkas dan khutbah pertama harus lebih panjang dari khutbah kedua.  


b. Rukun Khutbah
• Imam Hanafi berpandangan bahwa rukun khutbah itu satu, yaitu menyampaikan kalimat tayyibah yang bertujuan zikir (mengingat) Allah AWT, seperti membaca tahmid (Alhamdulillah) atau tasbih (subhanalloh) atau membaca tahlil (La Ilaaha illa Allah). Adapun membaca shalawat kepada Nabi, membaca ayat-ayat Al-Qur’an, mau’izoh hasanah, membaca doa dan memohonkan ampun bagi mukminin dan mukminat hukumnya sunnat (tidak masuk rukun khutbah).  

• Imam Malik berpandangan bahwa intinya rukun khutbah itu satu yaitu isi khutbah hendaknya mengandung kabar gembira (tabsyir) dan peringatan (tahzir). Selain itu hukumnya sunnat, termasuk membaca hamdalah, shalawat kepada Nabi, membaca ayat-ayat Al-Qur’an, mau’izoh hasanah, membaca doa dan memohonkan ampun bagi mukminin dan mukminat. 

• Imam Syafi’i berpendapat bahwa rukun khutbah ada lima, yaitu membaca hamdalah pada tiap-tiap khutbah, shalawat kepada Nabi di kedua khutbah, pesan taqwa kedua khutbah, membaca ayat-ayat Al-Qur’an salah satu dari dua khutbah ---lebih afdhol di khutbah pertama, membaca doa dan memohonkan ampun bagi mukminin dan mukminat khusus di khuitbah kedua. 

• Imam Hambali berpendapat bahwa rukun khutbah ada empat, yaitu membaca hamdalah, shalawat kepada Nabi, pesan taqwa dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an pada kedua khutbah. 

c. Masalah Tarqiyah
Tarqiyah adalah membaca lafaz Inna Alloha wa malaaikatahu yusholluuna alan Nabi dan kemudian membaca hadis Nabi Iza qulta lishohibika wal imamu yakhtubu yaumal jumuati anshit, faqod laghauta sebelum khutbah, menurut Imam Syafi’i adalah hasanah meskipun tidak dilakukan Rasululloh dan para Shabat, sementara menurut Imam Hambali tidak mengapa asalkan disampaikan sebelum khotib naik ke mimbar. Menurut Imam Malik adalah bid’ah dan hukumnya makhruh, bahkan Imam Hanafi menghukuminya makhruh tahrim.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar